Crowdfunding: Cocokkah untuk Indonesia?

crowdfunding

Gambar diambil dari sini

Hanya berbekal ide, seseorang dapat memulai bisnisnya melalui dana patungan. Apa dan bagaimana sebenarnya crowdfunding? Tepatkah hal ini diterapkan di Indonesia? 

Di suatu siang saya menghadiri sebuah acara di mana pakar dan pengamat bisnis Yuswohady tampil sebagai pembicara. Saat itu ia mengatakan hal yang sangat menarik.

Menurutnya Indonesia sekarang sedang berada pada tahap revolusi kewirausahaan. Dikatakannya bahwa hal ini terjadi karena PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia telah mencapai US$ 3.000 pada tahun 2010.

Dengan angka PDB sebesar itu, Indonesia dikatakan telah memasuki masa transisi. Kondisi ekonomi masyarakat bergerak maju dari miskin menuju ekonomi menengah.

Tanda bahwa kita sedang memasuki ekonomi menengah adalah terjadinya infrastructure bottleneck. Macet di mana-mana karena kapasitas jalan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan.

Inilah tanda bahwa kita sedang memasuki masa ekonomi kelas menengah. Orang-orang yang tadinya punya mobil satu, karena ekonominya membaik sekarang jadi punya tiga. Mereka yang tadinya hanya punya motor, sekarang sudah punya mobil, dan seterusnya. Hal lain yang juga menarik diamati dari masa ini adalah lahirnya para entrepreneur.

Dengan memasuki masa ekonomi kelas menengah, semua orang berlomba-lomba memperkuat finansialnya melalui entrepreneurship. Banyak orang kini tanpa takut terjun ke dunia wirausaha.

Kesuksesan keripik pedas Mak Icih, Rendang Uni Farah, Steak Hotel By Hollycow, dan masih banyak lagi menjadi contoh kesuksesan yang diinginkan. Para entrepreneur sukses ini telah menjadi the new rock star.

Orang kini lebih bangga menjadi pengusaha, ketimbang menjadi pegawai. Sangat berbeda dengan yang terjadi katakanlah 10 tahun yang lalu.

Menjadi wirausahawan hari ini juga relatif lebih mudah ketimbang 10 atau 15 tahun yang lalu. Kehadiran media komunikasi digital membuat orang lebih mudah mempromosikan bisnisnya. Tak hanya itu, teknologi juga telah melahirkan alternatif permodalan melalui crowdfunding.

Kehadiran crowdfunding telah mendemokratisasi permodalan bagi para startup. Hanya berbekal ide, seseorang dapat memulai bisnisnya melalui dana patungan. Apa dan bagaimana sebenarnya crowdfunding? Tepatkah hal ini diterapkan di Indonesia? Continue reading

Periklanan di Persimpangan Jalan

Periklanan

Gambar diambil dari sini

Iklan terus mengalami evolusi. Ia berubah dan berkembang seiring waktu. Dengan fragmentasi media yang demikian rupa, iklan pun sampai di persimpangan jalan. Semakin banyak orang yang skeptis dengan iklan. Masih perlukah kita beriklan?

Dulu saat televisi swasta baru hadir di Indonesia, saya yang saat itu masih duduk di sekolah dasar adalah salah satu penggemar iklan. Saya ingat betapa terkagum-kagumnya saya melihat iklan salah satu bank swasta asing berwarna merah itu.

Namun, ketika iklan mulai semakin banyak dan durasi jeda pariwara semakin lama, saya jadi tidak suka iklan. Commercial break jadi terasa mengganggu. Kalau jeda pariwara itu muncul langsung dipindah ke saluran lain yang sedang tidak ada iklan.

Meski begitu saya masih menikmati iklan-iklan kreatif yang berseni atau lucu. Saya percaya rata-rata orang juga bersikap sama.

Iklan merupakan hal yang dicinta sekaligus dibenci. Tak terhitung berapa kali kita memuji sebuah iklan, tapi juga tak terhitung berapa kali kita mencelanya. Dan entah berapa banyak iklan yang kita abaikan.

Kalau kita mau menengok ke belakang, iklan bahkan sudah ada sejak zaman Mesir kuno. Pesan-pesan komersial dibuat di atas papirus. Iklan komersial modern sudah ada sejak 1900an. Produk sabun merek Pears dianggap produk pertama yang beriklan dalam periklanan modern.

Iklan terus mengalami evolusi. Ia berubah dan berkembang seiring waktu. Dengan fragmentasi media yang demikian rupa, iklan pun sampai di persimpangan jalan. Semakin banyak orang yang skeptis dengan iklan.

Masih perlukah kita beriklan? Continue reading

Saatnya “Memainkan” Pasar lewat Game

gamification

Gambar diambil dari sini

Siapa bilang kegiatan marketing tidak bisa menyenangkan bagi konsumen? Game membuat kegiatan marketing lebih fun dan membuat semua orang senang dan menang.

Bermain merupakan sebuah kegiatan rekreasi yang disukai semua orang. Kegiatan ini tidak pernah menjadi monopoli anak-anak, meski mereka memang cenderung bermain lebih banyak ketimbang orang dewasa. Bahkan saat ini justru orang dewasa mulai kembali kecanduan bermain, terutama video game dan game online.

Siapa di antara Anda yang sedang atau pernah kecanduan game Candy Crush Saga? Saya adalah salah satu yang kecanduan meski tidak parah, sepertinya. Candy Crush Saga jelas bukan satu-satunya game yang bikin kecanduan, dan saya juga bukan satu-satunya orang yang sempat kecanduan main game.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada orang yang kecanduan main game? Hal paling jelas dan gamblang adalah karena bermain game adalah hal yang menyenangkan.

Game memberikan tantangan yang menggelitik hasrat alami manusia untuk berkompetisi, memperoleh status, dan mendapatkan reward ketika berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Inilah yang akhirnya menyebabkan orang kecanduan.

Begitu mudahnya kita hanyut dalam sebuah permainan, membuat game menjadi sebuah industri yang tampak nggak ada matinya. Tidak hanya itu, kuatnya ikatan antara gamer dengan game yang dimainkannya, membuat game, khususnya game online dilirik sebagai perangkat pemasaran. Continue reading

Brand Journalism: Komunikasi Pemasaran dengan Jurnalisme ala Merek

brand journalism

Gambar diambil dari sini

Seiring dengan makin meluasnya penerapan content marketing, istilah brand journalism juga makin sering dipakai. Dulu pertama kali saya mendengar istilah brand journalism terus terang saja agak bingung.

Maksudnya apa ya? Apakah itu artinya merek memproduksi sendiri berita-berita mereka? Dan, ya, brand journalism kurang lebih seperti itu.

Merek tidak benar-benar menciptakan berita, melainkan membuat konten yang menarik bagi audiensnya. Brand bertindak selayaknya para editor di ruang-ruang berita. Mereka mencari angle-angle menarik dalam menyajikan berita kepada para pembacanya.

Hal ini sebenarnya tidak lepas dari konsep content marketing di mana konten adalah sang raja. Konsumen hari ini adalah konsumen yang tidak percaya lagi pada iklan. Kalau lihat iklan mereka bawaannya nggak percaya. Mereka berpikir, “Ah pasti bohong deh. Lebay tuh pasti iklannya.”

Mereka lebih percaya pada artikel-artikel ulasan di blog atau rekomendasi di media sosial. Kecenderungan ini membuat merek mau tidak mau harus melakukan hal serupa, membuat konten. Pertanyaannya tentu konten seperti apa?

Jawabannya, konten yang diinginkan atau dibutuhkan oleh konsumen. Kesampingkan dulu nafsu ingin jualan.

Di era marketing yang mengedepankan dialog, ide kuno tentang menguasai pikiran pelanggan dengan mencekoki berbagai macam pesan adalah sebuah kesombongan.

Alih-alih memaksa menjejali pelanggan dengan segala macam pesan, konsep brand journalism yang menyajikan pesan-pesan yang mampu mengikat konsumen menjadi lebih penting.  Continue reading

Seasonal Marketing: Seni Memasarkan dengan Gelombang Musim

seasonal marketing

Gambar diambil dari sini

Ketika gelombang menghantam, menarilah bersamanya. Inilah prinsip dasar dalam seasonal marketing. Sudahkah kita menguasai seni menari bersama gelombang musim?

Kapan terakhir kali Anda mendatangi mal dan belanja cukup banyak? Kalau saya sepertinya menjelang lebaran lalu. Waktu itu saya sibuk belanja keperluan untuk lebaran dan mudik. Saya tentu tidak sendiri. Sebagian masyarakat Indonesia, bahkan mungkin termasuk Anda juga melakukan hal yang sama.

Pada dasarnya belanja di momen-momen perayaan atau musim tertentu bukan hanya kebiasaan orang Indonesia. Semua orang di jagat ini juga punya kebiasaan yang sama. Yang berbeda hanya perayaan dan musimnya. Kita memang memiliki kecenderungan berbelanja lebih banyak di musim-musim tertentu.

Pemasar manapun tentu membaca perilaku seperti ini sebagai peluang. Pemanfaatan musim tertentu seperti ini di dunia marketing dikenal dengan istilah seasonal marketing.

Itu adalah strategi pemasaran yang memanfaatkan kenaikan demand pada event atau musim tertentu. Berbagai macam promo yang digelar selama Lebaran, Natal, Imlek, Valentine, atau masa liburan sekolah merupakan contoh nyata seasonal marketing.

Hal yang paling indah dari musim-musim seperti ini, kebanyakan konsumen berubah menjadi pembelanja yang “serius”. Mereka tidak hanya melihat-lihat kemudian sibuk membandingkan barang satu dengan yang lainnya yang pada akhirnya mungkin menunda untuk melakukan pembelian.

Di musim-musim tertentu, kata kuncinya adalah “sekarang”. Konsumen menginginkan suatu barang, sekarang, terlepas dari ia membutuhkannya atau tidak.

Perilaku seperti ini tentu peluang emas bagi para marketer. Ini adalah kesempatan untuk mendongkrak sales. Masalahnya, tidak semua kesempatan pada akhirnya sungguh-sungguh menghasilkan seperti yang perkirakan sebelumnya. Kalau cara kira menfaatkan kesempatan itu salah, tentu hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan sebelumnya.

Untuk itu para marketer perlu memahami dengan baik tentang seasonal marketing itu sendiri. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi follower tanpa bisa menawarkan sesuatu yang berbeda ke hadapan konsumen. Di samping itu, cara kita memandang seasonal marketing tentu akan menentukan langkah kita dalam memanfaatkannya. Continue reading

Content marketing: Ketika Marketer Berhenti Jualan

content marketing

Gambar diambil dari sini

Ketika marketing tradisional mulai tidak efektif, hadir sebuah metode bernama content marketing. Dengan metode ini merek dan konsumen bertumbuh bersama, menjadi kawan seperjalanan.

Saat ini kita sedang berada di tengah pusaran perubahan dalam dunia marketing. Marketing tradisional yang sebelumnya kita kenal sedang mengalami perubahan besar-besaran. Hal ini terjadi karena konsumen mulai menutup diri mereka pada praktik pemasaran tradisional.

Iklan di televisi sudah lama dihindari dengan remote control, iklan majalah dilewatkan begitu saja, banner di media online pun nyaris tidak dipandang. Hal seperti ini membuat para marketer semakin sulit untuk menggapai target market mereka.

Efektivitas marketing tradisional yang semakin berkurang membuat para marketer beralih ke content marketing. “Content marketing is the only marketing left,” begitu Seth Godin pernah bilang.

Apa sebenarnya content marketing? Menurut Content marketing Institute, “Content marketing is a marketing technique of creating and distributing valuable, relevant and consistent content to attract and acquire a clearly defined audience – with the objective of driving profitable customer action.”

Content marketing adalah soal menarik perhatian target market melalui konten-konten berkualitas yang relevan. Ini bukan soal jualan dan promosi. Content marketing bukan bicara produk saya nomor satu, tapi soal manfaatnya bagi konsumen.  Continue reading

Ask.fm: Media untuk Bertanya Sesuka Hati

ask.fmPerkenalan saya dengan Ask.fm pertama kali terjadi waktu masa pilpres yang baru saja berlalu. Waktu itu beberapa orang di linimasa saya memasukkan tautan akun Ask.fm mereka. Penasaran dong saya dan makin penasaran karena sejak itu tampaknya Ask.fm mulai jadi “mainan” baru di Indonesia, selain Secret dan Legatalk.

Ask.fm sendiri merupakan sebuah media sosial yang memungkinkan orang lain bertanya kepada si empunya akun. Apapun bisa ditanyakan melalui media sosial ini. Dari pertanyaan yang umum seperti, “apa tips agar bisa belajar bahasa asing dengan cepat” hingga yang lebih personal seperti, “gimana sih caranya melupakan mantan”.

Saat ini pengguna global Ask.fm mencapai 180 juta. Angka itu adalah jumlah monthly unique user. Sebuah modal yang sangat lumayan untuk platform yang baru berdiri pada tahun 2010.

Modal ini juga lah yang salah satunya memotivasi Barry Diller, miliuner media asal Amerika Serikat, melalui perusahaan yang dimilikinya, yaitu Ask.com mengakuisisi Ask.fm pada 14 Agustus lalu.

Di samping jumlah penggunanya yang cukup besar, usia penggunanya yang relatif muda juga menjadi basis pengguna yang menguntungkan. Sebanyak 40% pengguna Ask.fm berusia di bawah 18 tahun.

Setiap harinya ada sekitar 20.000 pertanyaan yang dilemparkan melalui situs ini dan hampir 45%-nya dilakukan melalui perangkat mobile. Sebagai informasi, aplikasi mobile jejaring sosial ini sudah diunduh lebih dari 40 juta kali.

Apa Untungnya Buat Merek? Continue reading

Media Sosial: Coffee Shop-nya Dunia Maya

media sosial

Gambar diambil dari sini

Pada suatu pagi ketika sedang berjalan-jalan di linimasa, mata saya berhenti cukup lama pada tweet @Ndorokakung. Waktu itu dia bilang begini, “Social media is not a bullhorn for broadcast but a coffee shop for conversation.”

Ndorokakung tentu bukan orang pertama yang mengatakan hal ini, tapi ia mengingatkan kita semua sekali lagi bahwa esensi media sosial adalah untuk bercakap-cakap. Bukan semata-mata corong untuk jualan. Media ini adalah tempat kita bercakap-cakap, bukan cuma bicara.

Kehadiran media sosial sejak pertama disambut hangat oleh penggunanya di Indonesia. Ingat dulu ketika Friendster menjadi booming, kemudian disambut Facebook yang pada akhirnya menggeser Friendster, dan akhirnya kini ada begitu banyak media sosial dengan fans-nya sendiri-sendiri.

Menurut data terakhir, Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia maya. Indonesia adalah negara terbesar keempat di Facebook, dan negara terbesar kelima di Twitter. Bukan hanya itu, Jakarta adalah kota paling aktif di Twitter secara global, sementara Bandung secara mengejutkan berada di urutan kelima sebagai kota paling aktif di Twitter.

Meriahnya penggunaan media sosial tidak saja mengundang masyarakat awam untuk berpartisipasi, tetapi juga para marketer dan pemilik merek. Karena pada akhirnya kita harus berada di tempat para konsumen kita berada, bukan? Dan media sosial adalah tempat di mana mereka berkumpul.

Dengan populasi sebesar itu, media sosial tidak saja menjadi platform komunikasi yang potensial, tapi sekaligus juga menjadi pasar yang juga menggiurkan. Tak mengherankan banyak orang ramai-ramai jualan di media sosial. Benarkah hal ini? Bagaimana seharusnya merek merangkul media sosial? Continue reading

Digital Marketing: Sekarang Waktunya Bertindak, Bukan Menunggu

digital marketing

Gambar diambil dari sini

Digital marketing sudah bukan lagi soal penting atau tidak penting, tapi ini telah menjadi kebutuhan. Para pemasar harus berada di tempat konsumen mereka berada.

Banyak aspek dari kehidupan kita yang kini memiliki unsur kata “digital”. Media digital, digital business, generasi digital, dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi mungkin karena tanpa benar-benar disadari kultur kita telah berubah. Digital telah menjadi kultur baru masyarakat dunia.

Kultur masyarakat yang berubah tentunya menyebabkan pula perubahan dalam pola komunikasi yang pada akhirnya juga mengubah gaya pemasaran. Dari sini lah kemudian lahir apa yang kita kenal dengan digital marketing. Apa sih digital marketing yang sepertinya makin panas dibicarakan di mana-mana itu?

Menurut Wikipedia, digital marketing merupakan pemasaran yang menggunakan medium elektronik, seperti komputer, perangkat bergerak seperti smartphone dan tablet, digital billboard, dan game console. Pemasaran jenis ini menggunakan secara maksimal kanal-kanal digital untuk melakukan proses pemasaran.

Di Indonesia ini rasanya sudah mulai berkembang sejak sekitar 10 tahun yang lalu ketika kita mulai berkenalan dengan website, portal berita, media sosial, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, bagaimana perkembangan digital marketing di Indonesia selama 10 tahun terakhir dan bagaimana peluangnya di masa mendatang?  Continue reading

Brand Resonance: Pencapaian Terbesar Sebuah Merek

brand resonance

Gambar diambil dari sini

Apa yang menjadi puncak dalam perjalanan membangun sebuah brand? Menurut branding guru, Kevin Lane Keller, itu adalah brand resonance. Dalam piramida Costumer-Based Brand Equity (CBBE), brand resonance bertengger di posisi puncak.

Apa sebenarnya brand resonance? Dalam bukunya yang berjudul Strategic Brand Management ia menjelaskan bahwa brand resonance merupakan langkah akhir dalam model CBBE yang berfokus pada relationship tertinggi dan tingkat identifikasi pelanggan terhadap sebuah merek.

Menurut Keller, brand resonance mengacu pada sifat-sifat alamiah dari hubungan yang erat tersebut. Tapi tentu tidak berhenti sampai di situ, hal tersebut juga menunjuk pada keadaan ketika pelanggan merasa “nyambung” dengan suatu merek. Kalau istilah Amalia D. Maulana dalam bukunya Brand Mate, ini adalah keadaan ketika seseorang merasa sebuah brand telah menjadi soulmate-nya.

Gampangnya begini, ketika seorang pelanggan merasa sangat terhubung dengan sebuah merek dan mengidentifikasikan dirinya dengan merek tersebut, itulah yang kita sebut sebuah brand resonance.

Nah, brand resonance merupakan hasil dari dua hal, yaitu awareness dan brand image. Pada saat awareness dan brand image terbangun dengan sangat baik, hal tersebut akan beresonansi dalam bentuk-bentuk hubungan yang lebih emosional antara merek tersebut dengan pelanggannya. Apple, Harley-Davidson, dan eBay merupakan contoh-contoh merek yang memiliki resonansi tinggi.

Resonansi sebuah merek itu sendiri bisa terlihat dalam dua sisi. Pertama, intensitas, yaitu kedalaman ikatan psikologis antara pelanggan dengan suatu merek. Hal ini yang sering kita sebut dengan loyalitas.

Kedua, tingginya aktivitas yang didorong oleh loyalitas tersebut. Mulai dari seberapa banyak ia melakukan pembelian produk, dan sesering apa pembelian tersebut dilakukan.

Secara spesifik Keller membagi brand resonance ke dalam empat kategori, yaitu behavioral loyalty, attitudinal attachment, sense of community, dan active engagement. Behavioral loyalty merupakan perilaku yang menunjukkan loyalitas pada sebuah merek. Seperti apa perilaku tersebut? Tentu dengan melakukan pembelian.  Continue reading